Jumat, 17 Juli 2009
Formulir Pendaftaran KKN STIMIK Yadika
Yth. Ketua STIMIK YADIKA BANGIL
Kami mengajukan permohonan untuk melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN). Adapun judul, lokasi, tanggal pelaksanaan, nama ketua & anggota kelompok sebagai berikut :
• Judul : Sistem Pelayanan dan Aplikasi program
Kredit PT. BPR Kota Pasuruan
• Tempat magang & alamat : PT. BPR Kota Pasuruan
Jl. Panglima Sudirman no.58 Kota Pasuruan
• Tanggal pelaksanaan : 21 Juli 2009
NO N A M A N I M KONSENTRASI SKS
1. Giguk Aryono 10621632
2.
3.
4.
5.
Alamat ketua : Jl. SMP 6 Blusuk Parasrejo Kab.Pasuruan
Nomor telepon : 081553029229
Demikian permohonan kami, atas perkenannya kami ucapkan terimakasih.
Bangil, 17 Juli 2009
Ketua kelompok
( Giguk Aryono )
Memeriksa : Kasubag. Akademik ( )
Menyetujui : PD I STIMIK Yadika bangil ( )
Rabu, 15 Juli 2009
Jadikan STING Skill Sebagai Senjata Diri
Ada banyak “senjata” yang dapat kita gunakan dalam medan pencapaian prestasi. Para pakar telah berusaha membantu kita merumuskan berbagai hal yang sebaiknya menjadi perlengkapan diri untuk mencapai keunggulan pribadi. Salah satunya adalah apa yang disampaikan oleh Andrew SNG dengan STING Skill. Akronim ini cukup menarik karena selain “menyengat” namun begitu universal sehingga dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan.
[S] Speaking Skills.
Kita perlu senantiasa mengasah ketrampilan berbicara. Namun lebih luas lagi, yang dimaksud dengan speaking skill ini adalah ketrampilan berkomunikasi; ketrampilan menyampaikan maksud dan gagasan; ketrampilan meyakinkan orang lain. Dengan demikian, selain mengasah kemampuan verbal kita perlu melengkapi dengan pernak-perniknya, semisal body languange, talk languange atau presentation skill. Hampir semua pemimpin sukses menguasai ketrampilan yang satu ini.
[T] Thinking Skills.
Ketrampilan berpikir ini bukanlah melulu mengandalkan IQ tinggi. Perhatikan bahwa ini adalah suatu ketrampilan. Dan ini berarti senantiasa dapat diasah dan dilatih. Yang penting adalah kita perlu memiliki kemampuan untuk berpikir jernih, logis, analitis, sistematis dan positif. Kita dapat mengasahnya dengan senantiasa bersikap netral, adil, berpikir dengan urutan yang metodis, sederhana, mampu membedakan gejala dan reaksi. Tanpa kemampuan ini kita dapat terjebak untuk merumitkan masalah yang sederhana.
[I] Interpersonal Skills.
Ketrampilan ini disebut pula interrelationship skill karena menyangkut hubungan antar manusia, bekerja sama dalam tim kerja, menangkap persepsi, memandang tujuan bersama, keluwesan dalam bergaul, interaksi budaya. Dengan demikian kita dapat memelihara hubungan baik antara pribadi maupun kelompok
di sekitar kita yang sangat penting bagi kemajuan kita.
[N] Networking Skills.
Kita sebaiknya mengasah ketrampilan untuk membangun jaringan kerja yang berarti menciptakan hubungan antar kelompok dan fungsi dalam berbagai organisasi. Ini menuntut kita untuk memahami jaringan kerja dalam perusahaan maupun lingkungan usaha, memiliki visi yang jauh di batas cakrawala, serta mengetahui jalan-jalan untuk mencapai jenjang karier yang lebih tinggi. Tanpa ketrampilan ini kita seolah tak mengetahui dimana kita sedang berada dan kemana kita seharusnya melangkah.
Yang satu ini seolah melingkupi seluruh ketrampilan di atas, yaitu kemampuan untuk senantiasa mengembangkan diri, memperkaya dengan pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, minat yang menjadi syarat dasar untuk mencapai sukses anda. Asahlah berbagai ketrampilan yang diperlukan oleh profesi anda, baik technical skill, managerial skill, dan leadership skill.
Apakah dengan menguasai seluruh ketrampilan di atas, kita telah memiliki “senjata” yang dapat mengalahkan semua tantangan? Tentu tak mudah begitu saja. Kita perlu melandasi diri kita dengan hal-hal lain yang mendasar, seperti takwa, jujur, percaya diri, kemauan keras, tanggung jawab, tekun dan lain sebagainya agar kita dapat mencapai keunggulan diri melalui jalan yang terpuji. (Adapted from Self Esteem)
Tantangan Berarti
Tantangan akan menggairahkan anda, memberi anda arah, dan membangkitkan
yang terbaik dalam diri anda. Tantangan akan mendorong anda untuk
mempelajari ketrampilan baru, meraup pengetahuan baru. Tantangan
memotivasi anda untuk memberi hasil terbaik dari diri anda.
Pernahkah anda perhatikan, saat anda memiliki sedemikian banyak
tugas yang harus dikerjakan, anda justru memiliki lebih banyak
yang selesai dikerjakan. Dan saat sedikit hal yang perlu dikerjakan,
ternyata lebih sedikit lagi yang selesai dikerjakan.
Usaha anda meningkat sesuai dengan pekerjaan yang harus dikerjakan.
Tantangan mendorong hasil.
Tantangan tidak muncul untuk menarik anda ke bawah. Tantangan ada
untuk mendorong anda ke atas, menghasilkan yang terbaik, mencapai
target. Memang tantangan itu sulit dan tidak menyenangkan. Tetapi
hal itulah yang memberikan arti dan nilai. Kesuksesan terbesar hadir
lewat kebiasaan berurusan dengan serangkaian tantangan. Bukan dengan
menghindari tantangan.
Tolong diri anda sendiri.
Temukan tantangan sejati, anda akan menemukan hidup sejati.
Selasa, 14 Juli 2009
Kejujuran yang Menyelamatkan Jiwa
Pada suatu hari saat anak ini sedang menjajakan dagangannya, tiba-tiba ia melihat sebuah bungkusan kertas koran yang cukup besar , terjatuh dipinggir jalan, lalu diambilnya bungkusan tersebut, kemudian dibukanya bungkusan itu, namun betapa kaget dan terkejutnya ia, ternyata isi bungkusan tersebut berisi uang dalam nominal besar.
Tampak diraut wajahnya rasa iba dan bukan kegembiraan, ia tampak kebinggungan, karena ia yakin uang ini pasti ada yang memilikinya , pada saat itu juga anak ini langsung berinisiatif untuk mencari sipemilik bungkusan tersebut, sambil mencari-cari sipemiliknya, tiba-tiba seorang ibu dengan ditemani seorang satpam datang dengan berlinang air mata menghampiri anak kecil itu , lalu ibu ini berkata “dek, bungkusan itu milik ibu, isi bungkusan itu adalah uang”.
Uang untuk biaya rumah sakit,karena anak ibu baru saja mengalami kecelakan korban tabrak lari, saat ini anak ibu dalam keadaan kritis dan harus cepat dioperasi karena terjadi pendarahan otak, kalau tidak cepat ditangani ibu khawatir jiwa anak ibu tidak akan tertolong.
Pagi ini ibu baru saja menjual semua harta yang ibu miliki untuk biaya rumah sakit, Ibu sangat membutuhkan uang ini untuk menyelamatkan jiwa anak ibu.
Lalu anak kecil tersebut berkata,” benar bu, aku sedang mencari pemilik bungkusan ini, karena aku yakin pemilik bungkusan ini sangat membutuhkan. “Ini bu !, milik ibu”. setelah itu anak kecil tersebut langsung berlari pulang , sesampai dirumah ia ceritakan semua kejadian yang baru saja dialami kepada Ibu nya.
Lalu ibunya berkata , “ Benar anak ku ! “, kamu tidak boleh mengambil barang milik orang lain, walau pun itu dijalanan , karena barang itu bukan milik kita. Ibu sangat bangga pada mu nak, walau pun kita miskin , namun kamu KAYA dengan KEBAIKAN dan KEJUJURAN.
Untuk apa kita memiliki kekayaan yang melimpah, sementara kita harus mengorbankan nyawa orang lain . “Kamu sungguh anak yang baik nak” , ibu sangat bersyukur mempunyai anak seperti mu.
Hari ini ibu percaya, kamu sudah menyelamatkan satu jiwa melalui kebaikan dan kejujuran mu, kamu harus jaga terus kejujuranmu , karena kejujuran dapat menyelamatkan banyak orang dan kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana . “Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil”.
(“Matamu adalah pelita tubuhmu, Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi gelap. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya.” )
Dony dan Impiannya
saya pertama kali bertemu dengan Donny.
“Beli kartunya dong Kak,” pintanya saat itu. Donny, tampak menarik tangan saya
dan memamerkan beberapa kartu ucapan di tangannya. Ada 5 buah, kartu-kartu
mungil yang dibungkus plastik transparan. Ada sebuah kartu yang sederhana,
dengan hanya satu gambar bunga di depannya. Telihat garis-garis sejajar, mungkin
melambangkan tanah. Kelopak-kelopaknya tampak merekah, dengan tangkai yang
sangat panjang. Dia bilang, kartu-kartu itu adalah buatannya sendiri. Saya ambil
satu, dan dia pun tersenyum.
Donny, adalah sama dengan remaja lainnya. Dia suka mendengarkan musik, main
basket, dan tentu saja, menyukai remaja lawan jenisnya. Namun, yang
membedakannya mungkin hanya karena dia adalah penderita Down Syndrome, ditambah
dengan gangguan Cerebral Palsy. Tangannya, sering bergerak tak menentu.
Bicaranya tak jelas, disertai dengan lonjakan-lonjakan kepala yang intens.
Kartu mungil itulah yang menjadi awal kami berbicara. Saya mulai bertanya
kabarnya, dan dia menjawab baik-baik saja. Tangannya mulai bergerak spastis.
Kursi roda yang didudukinya bergeser. Tak lama kemudian, mulailah ia bercerita
tentang apa yang dirasakannya. Ia ingin sekali punya seperangkat alat musik. Ia
ingin punya gitar, dan piano agar dapat bernyanyi setiap hari.
Setiap minggu, dikunjunginya gereja di depan panti, dan ditawarkannya kartu
buatannya itu kepada para jemaat. Sebagai seorang Nasrani, Donny juga kerap
menyumbangkan suaranya disana. Dia lalu juga bercerita bahwa dia sudah
mengumpulkan uang sebanyak 500 ribu, hasil dari kartu-kartu buatannya. Dengan
uang itu, ia berniat untuk membeli piano. Ah, dia tampak bersemangat sekali.
Larik-larik cahaya sore yang menembus jendela yang terbuka setengah. Cahaya itu
menimpa tubuhnya, dan ah, kini ia tampak bersinar. Tangannya kembali bergerak
tak menentu, dan kepalanya masih melonjak-lonjak. Dia menjadi teman yang
menyenangkan sore itu. Kami juga bercanda, dan saling bertepuk tangan. Kami
membuat suara-suara aneh, hingga membuat kami sendiri tergelak tertawa. Padahal
cuma ada kami berdua yang ada di koridor panjang itu.
Lorong panti. Senyap. Dinding putih dan bangku panjang. Sunyi. Begitu pula saat
saya meninggalkan Donny bersama dengan beragam pemikiran (dan pelajaran tentang
ketegaran yang diberikannya).
***
Saya kagum dengannya. Walaupun tak sempurna, tak kurang semangatnya untuk
menjalani hidup. Kita mungkin paham, dengan uang 500 ribu, gitar dan piano macam
apa yang akan didapatkannya. Mungkin tak satupun. Tapi itulah kita. Dan kita
bukan Donny. Uang itu berarti segalanya buat dia.
Kita mungkin akan berkata kepadanya, “sudahlah Donny, kamu tak akan bisa menjadi
pemusik dengan keadaan seperti ini” Kata-kata itu mungkin yang akan terlintas di
benak kita. Tapi itulah kita. Dan kita bukan Donny. Kata-kata itu seringkali tak
berarti baginya.
Teman, kita mungkin sering pesimis dalam hidup ini. Walaupun dengan keadaan yang
sangat jauh berbeda dengan Donny, kita kerap tak bersemangat dalam hidup. Bisa
jadi, tak ada bara-bara api semangat yang membakar dalam dada. Bisa jadi, tak
ada derap-derap langkah yang menghentak menuju kemenangan.
Namun, maukah kita menjadi orang-orang yang pesimis? Maukah kita menjadi
orang-orang yang menyerah, terkapar di tengah perjalanan hidup ini? Jangan.
Jangan biarkan bara-bara itu redup dalam hatimu. Jangan biarkan derap-derap itu
melunak dalam jiwamu. Sediakan selalu percik-percik api walau sedikit untuk
menyalakan semangat itu. Sebab percik api, akan selalu menjadi benih bara api
yang berkobar-kobar. Jejakkan kakimu kuat-kuat agar tak goyah jalanmu. Sebab,
kaki yang menjejak dalam, akan membuat kita tegap dalam melangkah.
Tataplah kedepan. Pandanglah dengan sorot mata kemenangan. Dengarkan alunan
gemuruh irama dalam jiwamu. Biarkan simfoni itu yang mengisi kalbumu. Semoga
Allah selalu bersamamu.
17-Uang Bukan Segalanya untuk Maju
Sosok Oge mungkin bisa disebut sebagai gabungan dari remaja yang punya kemauan serta kepercayaan diri tinggi, keingintahuannya besar, dan ulet ncari celah untuk mengatasi hambatan. Sekolah bagi Oge sangat menyenangkan. Ia akan merasa rugi besar jika sampai harus bolos sekolah, entah karena tak punya ongkos jalan atau karena harus membantu ayah di ladang. Untuk mengungkapkan kekesalannya karena tak bisa bersekolah, Oge pernah menangis berjam-jam saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Kerapnya orangtua Oge terpaksa menunggak SPP juga tak membuat dirinya kehilangan semangat sekolah.
Bukan hanya urusan ongkos jalan dan SPP saja yang dihadapi Oge sepanjang duduk di bangku sekolah, bahkan buku cetak pegangan di kelas yang harus dimiliki murid juga sering tak dimilikinya. Tetapi, dasar otak encer, ia tenang saja menyerap seluruh pelajaran dengan otaknya. Prestasinya di kelas sejak SD membuat gurunya menawari Oge untuk langsung ikut ujian kelas enam, padahal saat itu ia baru kelas empat. Keruan ibu Oge, Nelce Wafom, melarangnya menerima tawaran itu, bukan saja karena sang kakak di kelas enam, tetapi Nelce juga menginginkan Oge berkembang sesuai dengan umurnya.
HASIL penelitian Oge sebenarnya sederhana, tetapi bisa mempunyai manfaat kelak jika dikembangkan lebih jauh. Lewat tulisannya di harian ini Mei lalu, Dr Kebamoto, ahli fisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, menilai eksperimen fisika Oge ini boleh jadi akan menjadi langkah awal pengungkapan misteri struktur sarang tawon yang berbentuk heksagon. Ini adalah struktur yang dikenal dalam bidang material sains dan struktur bangunan sipil, mulai dari lembaran kulit bola kaki sampai material berukuran mikrometer atau nanometer.
Struktur sarang tawon dikenal bisa membuat berbagai material-seperti grafit atau nanokomposit-menjadi memiliki sifat fisika yang aneh-aneh, seperti daya hantar listrik tinggi, tahan terhadap suhu tinggi, dan kekuatan mekaniknya 500 kali dari baja. Padahal, pada bahan yang sama, jika strukturnya tak sarang tawon, sifat fisika seperti disebut di atas tidak akan tampak.
Dalam eksperimennya, Oge meneliti dua hukum Kirchoff, suatu hukum yang mengatur besar arus dan tegangan listrik pada titik percabangan suatu rangkaian/jaringan resistor.
Menurut Kebamoto, jika jaringan itu berbentuk persegi atau segitiga, penghitungan resistor totalnya bisa dikerjakan murid sekolah menengah atas (SMA). Sementara kalau struktur resistornya berbentuk bintang, pengerjaannya bisa digarap mahasiswa tingkat 1 atau 2.
Namun, yang dikerjakan Oge adalah struktur sarang tawon rumit, di mana mencari hambatan atau beda tegangan antara dua titik simpul mana saja pada sarang tawon, yang tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Oge ternyata menyelesaikan masalah dengan deret Fourier yang biasanya baru diajarkan pada mahasiswa semester 4.
Bisa dibayangkan, seorang murid kelas 3 SMU Negeri Buper, Jayapura, bisa menurunkan persamaan rumit itu ke dalam formula sederhana. Dengan rumusnya itu, ia bisa menghitung hambatan (resistensi) di antara dua titik dalam sebuah rangkaian sarang tawon. Padahal, menurut Kebamoto, karena rumit dan solusi analitisnya sulit ditentukan, Oge harus belajar terlebih dulu soal analisis numerik dan program komputer yang bisa menyelesaikan kasus itu. Semua ini biasanya baru dipelajari mahasiswa tahun ke-3.
PERJALANAN Oge membuat rumus yang layak ia klaim sebagai “George Saa Formula” sebenarnya berawal dari terpilihnya ia-bersama dengan empat siswa lain-oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk ikut Olimpiade Fisika. Saat itulah ia mulai berkenalan dengan pelatihan tiga bulan yang dilakukan Tim Olimpiade Fisika di Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang. Hasilnya, ia dikirim ke India, mengikuti lomba fisika, di mana Oge cuma memperoleh gelar honourable.
Berikutnya, ia menghasilkan makalah berjudul “Apakah Elektron merupakan Partikel atau Gelombang?” yang merupakan hasil tinjauan ulang atas berbagai makalah yang pernah ditulis sejumlah ilmuwan. Dari makalah yang dinilai biasa saja, tetapi penjelasan dan cara menyimpulkannya menarik, Yohanes Surya-guru besar UPH yang juga Ketua Tim Olimpiade Fisika-mulai melihat adanya potensi pada diri Oge. Bersama dengan enam peserta lain, ia kembali berlatih di UPH selama sebulan sebelum diminta untuk membuat penelitian dari sejumlah topik yang sudah ditentukan. Dari situlah, Oge mulai meneliti soal penghitungan hambatan pada struktur sarang tawon.
Jika menilik ke belakang, apa yang dihasilkan Oge bukannya tanpa hambatan. Untuk mengikuti lomba ilmiah tingkat pelajar di luar daerahnya bukanlah hal mudah. Beruntung ia memiliki kakak yang bisa diajak “bersekutu”. Adalah Franky Albert Saa, kakak Oge yang tertua, yang secara diam-diam mempersiapkan kepergian adiknya ke Jakarta setelah Oge menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah tahun 2001. Sang ibu rupanya tidak rela berpisah dari si bungsu yang dilahirkan 22 September 1986 ini. Persis menjelang Oge akan melangkah menuju pesawat, baru kabar itu disampaikan kepada Nelce. Keruan tangis Nelce pun pecah dan itu berlangsung sampai dua pekan.
Bagi Oge, masa sulit bersekolah praktis terlewati begitu ia diterima di SMUN 3 Buper Jayapura, sebuah sekolah unggulan milik Pemerintah Provinsi Papua, yang dikhususkan untuk menampung siswa berprestasi. Para lulusan sekolah menengah pertama yang berprestasi dari setiap kabupaten/kota dikirim oleh pemerintah daerahnya untuk bisa bersekolah di sini.
Di sekolah itu pula, Oge mulai mengenal internet, yang menjadi sumber inspirasi penulisan risetnya. Dari internet juga, ia mendapat bermacam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para ahli fisika dunia yang mengilhami Oge dalam menurunkan rumusnya. Itulah yang membuat dia berkomentar, “Uang bukan segala-galanya untuk maju. Selalu ada jalan untuk menimba ilmu.”
Karena itu pula, ia berharap para remaja Papua juga dapat melakukan hal serupa dan tidak perlu resah dengan urusan uang. “Orang Papua banyak yang hebat dan memiliki otak brilian. Tetapi, mereka selalu melihat uang sebagai hambatan. Padahal, yang penting kan kemauan dan semangat kerja keras,” ujar remaja yang juga mendapat kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama satu bulan.
Kesempatan itu tentu saja amat diimpi-impikan Oge yang bercita-cita meraih Nobel bidang fisika kelak. “Saya memang masih harus bekerja keras, disiplin, dan terus mencari yang terbaik untuk sampai ke sana,” katanya.
KINI hari-hari Oge tidak hanya disibukkan dengan belajar, mengasah kemampuannya, tetapi juga menghadiri berbagai acara yang sifatnya seremonial. Suatu kali pernah ia harus hadir atas undangan Gubernur Papua JP Solossa guna bertatap muka dengan para guru dan murid se-Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom di Kantor Balai Pelatihan Guru di Kota Raja, Jayapura. Dalam acara yang terkait dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional itu, Solossa memujinya dengan mengatakan, “Dia tidak hanya membawa nama besar Papua, tetapi mengangkat nama bangsa Indonesia di dunia internasional. Ini satu kebanggaan luar biasa. Papua yang selalu dikonotasikan dengan kemiskinan, telanjang, dan bodoh ternyata punya putra asli yang genius,” kata Solossa disambut tepuk tangan.
Oge kini memang menjadi favorit guru dan murid di Papua. Seusai pertemuan dengan Gubernur Solossa, misalnya, para siswa dan guru mengerumuninya. Mereka mengucapkan selamat berjuang, sementara beberapa guru dari sekolah lain mengajak Oge berfoto bersama. Sementara, di luar ruangan, teman-temannya telah menunggu. Mereka tak sabar meminta Oge menjelaskan pelajaran fisika yang baru saja mereka dapat dari sang guru. (KORNELIS KEWA AMA)
Hasrat, Komitmen dan Keberanian
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai
penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk
diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat
dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi
Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.”
Anda memilikinya?
GURU DAN SEMANGATNYA
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.
Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).
Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.
Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.
Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.
Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.
Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.
Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.
Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?
Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.
***
Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.
Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?
Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda.
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.