Lorong panti. Senyap. Dinding putih dan bangku panjang. Sunyi. Begitulah saat
saya pertama kali bertemu dengan Donny.
“Beli kartunya dong Kak,” pintanya saat itu. Donny, tampak menarik tangan saya
dan memamerkan beberapa kartu ucapan di tangannya. Ada 5 buah, kartu-kartu
mungil yang dibungkus plastik transparan. Ada sebuah kartu yang sederhana,
dengan hanya satu gambar bunga di depannya. Telihat garis-garis sejajar, mungkin
melambangkan tanah. Kelopak-kelopaknya tampak merekah, dengan tangkai yang
sangat panjang. Dia bilang, kartu-kartu itu adalah buatannya sendiri. Saya ambil
satu, dan dia pun tersenyum.
Donny, adalah sama dengan remaja lainnya. Dia suka mendengarkan musik, main
basket, dan tentu saja, menyukai remaja lawan jenisnya. Namun, yang
membedakannya mungkin hanya karena dia adalah penderita Down Syndrome, ditambah
dengan gangguan Cerebral Palsy. Tangannya, sering bergerak tak menentu.
Bicaranya tak jelas, disertai dengan lonjakan-lonjakan kepala yang intens.
Kartu mungil itulah yang menjadi awal kami berbicara. Saya mulai bertanya
kabarnya, dan dia menjawab baik-baik saja. Tangannya mulai bergerak spastis.
Kursi roda yang didudukinya bergeser. Tak lama kemudian, mulailah ia bercerita
tentang apa yang dirasakannya. Ia ingin sekali punya seperangkat alat musik. Ia
ingin punya gitar, dan piano agar dapat bernyanyi setiap hari.
Setiap minggu, dikunjunginya gereja di depan panti, dan ditawarkannya kartu
buatannya itu kepada para jemaat. Sebagai seorang Nasrani, Donny juga kerap
menyumbangkan suaranya disana. Dia lalu juga bercerita bahwa dia sudah
mengumpulkan uang sebanyak 500 ribu, hasil dari kartu-kartu buatannya. Dengan
uang itu, ia berniat untuk membeli piano. Ah, dia tampak bersemangat sekali.
Larik-larik cahaya sore yang menembus jendela yang terbuka setengah. Cahaya itu
menimpa tubuhnya, dan ah, kini ia tampak bersinar. Tangannya kembali bergerak
tak menentu, dan kepalanya masih melonjak-lonjak. Dia menjadi teman yang
menyenangkan sore itu. Kami juga bercanda, dan saling bertepuk tangan. Kami
membuat suara-suara aneh, hingga membuat kami sendiri tergelak tertawa. Padahal
cuma ada kami berdua yang ada di koridor panjang itu.
Lorong panti. Senyap. Dinding putih dan bangku panjang. Sunyi. Begitu pula saat
saya meninggalkan Donny bersama dengan beragam pemikiran (dan pelajaran tentang
ketegaran yang diberikannya).
***
Saya kagum dengannya. Walaupun tak sempurna, tak kurang semangatnya untuk
menjalani hidup. Kita mungkin paham, dengan uang 500 ribu, gitar dan piano macam
apa yang akan didapatkannya. Mungkin tak satupun. Tapi itulah kita. Dan kita
bukan Donny. Uang itu berarti segalanya buat dia.
Kita mungkin akan berkata kepadanya, “sudahlah Donny, kamu tak akan bisa menjadi
pemusik dengan keadaan seperti ini” Kata-kata itu mungkin yang akan terlintas di
benak kita. Tapi itulah kita. Dan kita bukan Donny. Kata-kata itu seringkali tak
berarti baginya.
Teman, kita mungkin sering pesimis dalam hidup ini. Walaupun dengan keadaan yang
sangat jauh berbeda dengan Donny, kita kerap tak bersemangat dalam hidup. Bisa
jadi, tak ada bara-bara api semangat yang membakar dalam dada. Bisa jadi, tak
ada derap-derap langkah yang menghentak menuju kemenangan.
Namun, maukah kita menjadi orang-orang yang pesimis? Maukah kita menjadi
orang-orang yang menyerah, terkapar di tengah perjalanan hidup ini? Jangan.
Jangan biarkan bara-bara itu redup dalam hatimu. Jangan biarkan derap-derap itu
melunak dalam jiwamu. Sediakan selalu percik-percik api walau sedikit untuk
menyalakan semangat itu. Sebab percik api, akan selalu menjadi benih bara api
yang berkobar-kobar. Jejakkan kakimu kuat-kuat agar tak goyah jalanmu. Sebab,
kaki yang menjejak dalam, akan membuat kita tegap dalam melangkah.
Tataplah kedepan. Pandanglah dengan sorot mata kemenangan. Dengarkan alunan
gemuruh irama dalam jiwamu. Biarkan simfoni itu yang mengisi kalbumu. Semoga
Allah selalu bersamamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar